Laporan Global Nutrition Report pada 2018 menjabarkan bahwa prevalensi stunting Indonesia dari 132 negara berada pada peringkat 108 dan berada di urutan kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan, total angka kelahiran per tahun tercatat sebanyak 5 juta, di mana 1,2 juta bayi lahir dalam kondisi stunting.
BKKBN juga memprediksi bahwa 4 tahun ke depan, dari 20 juta kelahiran bayi, 7 juta diantaranya berpotensi mengalami stunting. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berada pada level gawat kondisi stunting dan berpotensi mencetak generasi yang tidak berkualitas.
Stunting bisa dicegah dengan memberikan asupan gizi yang optimal terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dengan program pemberian makan bayi terutama ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dan menyusui sampai 3 tahun atau lebih. Pencegahan ini harus dibarengi dengan edukasi mengenai stunting dan laktasi.
Menyikapi hal ini, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi melalui Health Collaborative Center (HCC) memutuskan membantu upaya pemerintah dalam menurunkan angka stunting dengan memberikan edukasi melakukan kajian ilmiah dan riset di bidang gizi ibu dan anak, juga kesehatan pekerja.
“Di Indonesia, masalah kesehatan kerja dan nutrisi masih menjadi masalah utama kesehatan bangsa dan kesehatan pekerja. Produktivitas kerja masih kurang, nutrisi baik ibu maupun anak masih banyak yang menjadi penyebab kematian termasuk stunting, malnutrisi dan angka ASI eksklusif yang masih rendah. Dari situ, kemudian saya terpanggil membuat Health Collaborative Center,” ujar Ray yang juga merupakan Medical and Science Director Danone Indonesia, melalui keterangan resminya.
Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, pendiri Health Collaborative Center. (Istimewa)
Ray memaparkan, fokus edukasi dan promosi HCC tidak hanya pada aspek kedokteran, tetapi juga pada aspek social life science serta perilaku kesehatan masyarakat. HCC juga menyasar pada milenial lewat platform media sosial dengan menginisiasi tagar #SehatIndonesia.
Di pekan ASI sedunia pada Agustus lalu, lanjut Ray, HCC mengeluarkan penelitian tentang kesiapan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan terhadap pelaksanaan laktasi selama pandemi. HCC juga telah bekerjasama dengan beberapa perusahaan dengan meluncurkan club okupasi sebagai navigasi untuk manajemen kesehatan pekerja di tempat kerja selama pandemi.
“Data ini selain kita publikasikan di jurnal ilmiah, kami komunikasikan pada pemerintah. Jadi membantu pemerintah dapatkan data. Kalau tidak ada data tidak ada aksi,” katanya.
Menurut Ray, para peneliti sebaiknya mulai membawa kajian ilmiah untuk dibagikan melalui media sosial agar edukasi dan informasi bisa tersampaikan oleh semua orang. Hal ini sudah ia lakukan lewat akun Instagram-nya.
“Laktasi sendiri bagi saya punya makna filosofi yang tinggi. Laktasi itu memberi makan generasi bangsa dan laktasi harus didukung oleh semua pihak baik laki-laki maupun perempuan,” pungkasnya.
Ray mendirikan HCC pada 2019 lalu. Tempat ini merupakan wadah edukasi dan advokasi kesehatan masyarakat tentang nutrisi, kesehatan kerja, laktasi dan kesehatan komunitas. HCC tidak menghimpun anggota, tetapi menjaring mitra yakni mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan HCC baik edukasi online, webinar, hingga jadi responden penelitian. Dalam satu tahun belakang ini, HCC sudah memiliki lebih dari 5.000 database tenaga kesehatan.
Sumber: https://www.jawapos.com/kesehatan/01356389/turunkan-angka-stunting-lewat-health-collaborative-center