Kesuksesan menyusui atau ASI eksklusif bagi pekerja perempuan di Indonesia tetap menjadi topik yang kerap memunculkan situasi yang dilematis bagi ibu menyusui. Isu kebijakan cuti melahirkan yang hanya tiga bulan banyak dihubungkan dengan rendahnya keberhasilan ASI eksklusif dikalangan pekerja perempuan yang menyusui di tanah air.
Menurut Peneliti Kedokteran Komunitas Kerja dan Ketua Health Collaborative Center, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, berbagai kajian ilmiah dan penelitian lapangan kerap menunjukkan adanya hubungan antara cuti melahirkan dengan kesulitan berkerja.
“Berbagai kajian ilmiah dan penelitian lapangan memang menunjukkan adanya hubungan antara cuti melahirkan yang hanya tiga bulan dengan kesulitan pekerja untuk tetap menyusui secara eksklusif. Meninggalkan bayi dirumah tanpa ada kesempatan menyusui langsung tentu berisiko mengganggu pola produksi ASI. Ditambah lagi sesuai studi kami masih banyak tempat kerja terutama pabrik yang tidak memberi dukungan fasilitas dan konselor laktasi yang memadai di tempat kerja, akibatnya menyusui nya berhenti,” ungkap Dr.Ray yang merupakan pengajar di Program Magister Kedokteran Kerja FKUI ini.
“Namun studi kajian literatur terbaru kami menunjukkan bahwa solusi alternatif yang bisa dilakukan pemilik tempat kerja adalah memang memberi opsi waktu kerja fleksibel, karena secara fisiologis proses menyusui di usia enam bulan pertama harus dilakukan sesering mungkin, bahkan tidak boleh lebih dari dua jam, karena idealnya waktu pengosongan payudara kurang dari dua jam. Sehingga dengan waktu kerja fleksibel, ibu tetap bisa memompa ASI di sela-sela jam kerja atau bahkan untuk perkantoran yang bisa menyiapkan fasiltias penitipan anak maka ibu bisa istirahat menyusui bayinya sewaktu-waktu,” ujar Dr. Ray yang sering memberi edukasi kesehatan lewat akun Instagramnya di @ray.w.basrowi ini.
Dr Ray menambahkan bahwa memang idealnya cuti melahirkan di Indonesia harus enam bulan, dan inisiatif DPR RI melalui RUU Kesehatan Ibu Anak (RUU KIA) wajib didukung. Namun sebelum kebijakan ini diputuskan, pemilik tempat kerja dapat menerapkan program promosi laktasi berbasis tempat kerja yang telah terbukti efektif meningkatkan keberhasilan ASI Ekslusif, tanpa harus cuti enam bulan.
Ray menegaskan, penelitiannya yang sudah dipublikasikan di Archives of Public Health sejak tahun 2019 sudah memformulasikan model promosi laktasi seperti ini dan hasil uji klinisnya juga berhasil meningkatkan angka menyusui eksklusif secara signifikan.
Bahkan kajian ilmiah terbaru bertajuk ‘Optimizing Workplace Support for Breastfeeding in Female Worker’ yang ditulisnya bersama tim peneliti dan dipublikasikan di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) juga menegaskan temuan dan rekomendasi ahli bahwa komitmen perusahaan untuk memberi pilihan waktu kerja fleksibel dan membebaskan pekerja perempuan yang masih memiliki bayi untuk bisa menyusui secara langsung atau memompa ASI ditempat kerja, merupakan investasi karena pekerja perempuan yang sukses menyusui memiliki kesehatan dan produktivitas yang baik.
Angka pencapaian ASI Eksklusif dikalangan pekerja di Indonesia memang masih tergolong sangat rendah, bahkan dibandingkan dengan negara tetangga. Data terakhir dari penelitian Basrowi dkk di Divisi Kedokteran Kerja FKUI ditemukan bahwa pada kalangan buruh pabrik hanya sekitar 19% pekerja perempuan yang sukses ASI eksklusif setelah kembali dari cuti melahirkan.
Namun temuan studi ini menunjukkan bila ada intervensi promosi laktasi dalam bentuk fasilitas memadai terutama ruang laktasi yang khusus serta konseling dan edukasi rutin, maka pekerja perempuan yang menyusui meningkat secara signifikan.
DPR RI sendiri sempat melakukan pembahasan terkait rencana menerapkan cuti melahirkan hingga enam bulan bagi pekerja perempuan, tujuanya adalah salah satunya agar bisa meningkatkan pencapaian ASI eksklusif di Indonesia. Namun hingga kini memang penetapan RUU Kesehatan Ibu Anak ini masih dalam proses di badan legislatif.